Mencari Kebenaran Tercium Aroma Ketakwaan
Dalam Pertanyaan Seorang yang Mencari Kebenaran Tercium Aroma Ketakwaan*
Jika seorang penanya mengatakan: “Baiklah Tuan, saya telah mengajukan pertanyaan. Selama Tuan belum selesai memberikan jawaban sepenuhnya, selama itu pula saya akan diam," maka orang yang menjawab pun akan senang.
Sebenarnya, ucapan ucapan yang dilakukan untuk Allah, dan kalbu yang berbuat demikian demi _keridhaan_ Allah, dan hatinya dipenuhi oleh _ketakwaan_ sejati, orang seperti itu tidak akan pernah berbuat (curang dan serakah dalam.perdebatan perdebatan) seperti itu. Namun di masa sekarang ini, lidah bermain seperti halnya pedang, dan digunakan hanya untuk saling menghujat.
Jika dilakukan untuk Allah, tentu ucapan ucapan dan caranya lain. Sesuatu yang tampil dari _kalbu_ pasti akan masuk dan meresap ke dalam _kalbu_ juga. Dari pertanyaan yang diajukan oleh seorang pencari kebenaran, saya dapat merasakan _aroma_ wangi.
Jika ada seorang _pencari_ kebenaran, maka dalam sikap kerasnya pun terdapat suatu _kelezatan._ Memang dia berhak, yakni hal hal yang tidak dia pahami, dia dapat berusaha untuk memuaskan hatinya, dan selama masih belum puas serta belum memperoleh argumentasi argumentasi yang lengkap, maka silahkan dia dapat terus bertanya. Sikapnya itu tidak terasa buruk bagi saya. Bahkan, orang seperti itu patut untuk dihormati. Jelas ada perbedaan antara ucapan ucapan yang dilakukan _demi Allah,_ dengan ucapan ucapan yang muncul dari _dorongan nafsu._ ” (Malfuzat, jld. V, hlm : 143 - 144).
*Jangan Terburu Nafsu Untuk Melontarkan Kritikan*
Saya juga telah berkali kali menasihati Jema'at saya supaya jangan terburu nafsu untuk melontarkan _kritikan_ kepada seseorang. Agama yang lama, sebenarnya berasal dari Allah juga, namun karena zaman yang telah berlangsung begitu panjang, timbullah kekeliruan kekeliruan di dalamnya. Berusahalah untuk menghapuskan kekeliruan kekeliruan itu dengan perlahan dan lembut. Jangan berikan hadiah _kritikan_ keras seperti bate kepada seseorang.
Kita melihat, hari ini sehelai baju dijahitkan di pasar dan dipakai. Beberapa lama kemudian baju itu menjadi usang, dan terjadi berbagai macam perubahan pada baju itu. Demikian pula, _ajaran_ agama yang lama pasti merupakan suatu _kebenaran._ *_Allah itu menyertai kebenaran, dan agama yang benar mengandung Tanda yang hidup di dalamnya, sebab pohon itu dikenali melalui buahnya._*
Pemerintah yang merupakan sebuah bayangan sangat kecil dari Wujud Yang Maha Tinggi, kita melihat betapa seorang yang benar itu dihormati dan dipercayai pada pandangan pemerintah. Pejabat atau pegawai yang telah ditunjuk sendiri oleh pemerintah sebagai hakim di suatu tempat, betapa dia melaksanakan pekerjaan itu dengan berani, dan dia sedikit pun tidak suka sembunyi sembunyi.
Namun seorang deputy commissioner, pesuruh dan sebagainya, yang menjadikan dirinya sendiri sebagai hakim dan menipu orang orang, apakah mereka berani tampil di hadapan pemerintah? Ketika pemerintah mengetahui hal itu, maka mereka langsung dihinakan. Mereka dibelenggu lalu dimasukkan ke dalam penjara, atau diberi hukuman. Demikian pula halnya agama yang benar. Seseorang yang pada pandangan Allah merupakan orang benar, pada dirinya terdapat tanda Allah dan keberanian serta kebenaran. Dia setiap saat hidup dan kehormatannya tegak.
Sebenarnya, bagi orang yang takut kepada Allah terdapat kesulitan kesulitan besar. *_Manusia baru bisa menjadi bersih dan suci tatkala dia sama sekali meninggalkan kehendak kehendak dirinya sendiri lalu memenuhi kehendak kehendak Allah dan menjadi fanaa fillaah (larut di jalan Allah) demi meraih keridhaan Nya._* Sikap egoisme, takabur dan sombong, semuanya lenyap keluar dari dalam dirinya. Matanya memandang ke arah yang diperintahkan oleh Allah. Telinganya terpasang ke arah yang diinstruksikan oleh Majikan nya. Lidahnya mengalir untuk memaparkan kebenaran dan hikmah. Dia sama sekali tidak akan berjalan selama untuk itu belum ada izin dari Allah. Dia tidak akan makan, walau harus menanggung lapar, melainkan setelah Allah menyuruhnya.
Ringkasnya, selama sebelum mati dia belum memberlakukan suatu maut (kematian) atas dirinya, selama itu pula dia tidak akan dapat mencapai derajat muttaqi (bertakwa). Kemudian, ketika dia memberlakukan suatu maut atas dirinya sendiri demi Allah, maka Allah tidak akan pernah memberlakukan maut (kematian) lain atas dirinya.” (Malfuzat, jld. V, hlm. 144 145).
Comments
Post a Comment